oleh

Tabut Perjanjian di Lintasan Kereta Tua

SUARAPAPARISA.COM, Tanda heran itu mulai nampak, dalam belukar semak berduri. Di lajur pusaran gunung tua, terbuka Cahya berlian pusaka. Awal kisah terbuka bertalian, siksa menyiksa silih berganti.

Di antara himpitan keledai tua nan lusuh, terbersit sinar mentari senja. Lolongan serigala di malam sepi, meminta Darah – darah dan darah.

Pelataran rumah tua makin rapuh, pelayanan berlarian mengejar asa. Nyiur melambai memanggil harapan, tanah subur sukma berseri.

Alunan kecapi dendengan ria, sejoli duduk memadu cinta. Birahi hancur berkeping duri, dalaman laut bertalih dada tak ada bedanya. Raut terbaca isi pun lenyap, Manusia durhaka memakan bangkai akibat dosa bertalih akhirat.

Masa panen sirene memanggil, goncangan alam keraslah sudah. Memaksa bathin meronta lapar, terbujur kaku di kubangan lumpur. Hari itu senjapun mengumpat, langit memerah merobek nadi. Darah biru bercampur hitam kemerahan, tersayat asa meronta bathin di pelataran gubuk legenda tua.

Takdir negeri terjanji seleksi ramalan alam, tenggelam kapal di dasar Palung Mariana. Kisah sedih mata berkeras, carik ranting di daun kering.

Banyak jalan menuju Roma, tapi dasar kaki banyak tersesat. Diambang kepasrahan ada sinar kedamaian berbalut syair, indah dipandang syahdu di dengar.

Pancasila ohhh bait penunjuk arah, Indah isi indah pun Syair. Lantunan kata tersusun rapih, dalam balutan syair pijakan tanah pusaka Nuswantoro.

Mari bersatu anak negeri, dalam balutan Merah Putih, singsingkanlah lengan baju. Mari Songsong harapan baru, demi keutuhan, kedaulatan dan kemajuan Bangsa Indonesia Raya.

Carik Ranting
Cenderawasih,

Andy S. Komber🙏

Komentar

Tinggalkan Balasan

News Feed